Hukum Memakan Uang Riba

Hukum Memakan Uang Riba

Hukum Sedekah Uang Riba /Bunga Bank Untuk Masjid?

Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?

Baca Juga : Cara menghitung zakat mal yang praktis

Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.

Pendapat ini juga difatwakan Penasihat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.

Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikutip dalam Fatawa Islamiyah, 2:885

Perlu diperhatikan bahwa bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika Anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa Anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa Anda serahkan secara diam-diam, atau Anda jelaskan bahwa itu bukan uang Anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik Anda.

Dapat disimpulkan bahwa bunga bank itu riba dan hukumnya haram, sehingga itu bukan hak kita dan tidak boleh kita konsumsi. Adapun jika diambil untuk disedekahkan boleh. Hanya saja harta riba itu akan dimanfaatkan untuk fasilitas umum yang bisa digunakan oleh banyak orang. Hukum sedekah uang riba juga pernah dibahas juga oleh ustad Abdul shomad:

“Riba itu haram, kotor sehingga seseorang tidak bisa mencuci pakaian najis menggunakan air kencing yang najis agar pakaian tersebut menjadi suci. Yang dapat digunakan untuk mensucikan pakaian najis hanyalah air yang dapat mensucikan.”

Uang haram dipakai untuk ibadah haji, maka hajinya tidak diterima oleh Allah SWT dan tidak akan pernah menjadi haji yang mabrur.

“Islam mengajarkan bersih awalnya, bersih tengahnya, bersih ujungnya,” jelas Ustadz Abdul Somad.

Dengan demikian tidak ada lagi alasan seseorang sengaja menghasilkan uang haram untuk niat sedekah di jalan Allah, karena Allah tidak akan menerimanya.

Baca Juga: Cara menghitung zakat penghasilan

https://konsultasisyariah.com/ dan rumaysho.com

Kehalalan makanan yang masuk ke perut sangat berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya adalah masalah status dan nilai keimanan kepada Allah SWT. Makanan halal juga akan berpengaruh terhadap keberkahan hidup. Kalau tidak sengaja konsumsi makanan haram bagaimana?

Makanan haram adalah makanan yang dilarang oleh syariat Islam untuk dikonsumsi oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Mengutip dari buku Sembuh Total dengan Wirid Husna karya Rizem Aizid, apabila seorang hamba tetap memaksakan diri memakan barang haram tersebut, maka ia tidak akan mendapat rida Allah SWT. Sebaliknya, ia akan mendapat azab dan dosa dari-Nya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak dari memaksakan diri memakan makanan yang haram pun ada berbagai macam. Apa saja?

Dijelaskan dalam buku 20 Hari Hafal 1 Juz karya Ummu Habibah, dampak memakan makanan haram untuk tubuh ada lima hal, di antaranya:

Allah SWT Menolak Ibadahnya

Dampak yang pertama ketika seorang muslim dengan sengaja makan barang haram adalah tidak akan diterima amal ibadahnya walaupun ia dengan rajin mengerjakannya.

Ibnu Abbas meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqash bahwasanya Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Sa'ad, "Wahai Sa'ad, perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal), niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak untuknya." (HR Thabrani)

Doa-Doanya Tidak Dikabulkan

Rasulullah SAW bersabda, "Seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan 'Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!' padahal, makanannya haram dan mulutnya disuapi dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu?" (HR Muslim)

Dampak ketiga memakan barang haram adalah dapat membuat iman seseorang menipis atau bahkan hilang. Apabila iman tersebut sudah terkikis, maka ia tidak akan digolongkan lagi bersama orang-orang mukmin.

Rasulullah SAW bersabda,

"Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari dan Muslim)

Mendapatkan Balasan Neraka

Seorang muslim yang dengan sengaja memakan makanan haram tidak akan mendapat balasan kecuali neraka.

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, beliau berkata, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR Tirmidzi)

Orang yang gemar atau sengaja makan makanan haram padahal sudah jelas makanan tersebut haram, maka konsekuensinya ia akan memiliki hati yang keras melebihi batu.

Apabila hati manusia sudah menjadi keras, maka ia akan sulit untuk menerima kebenaran dan akan terus berada dalam kesesatan.

Hukum Mengambil Bunga Bank

Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.

Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Sebagaimana keterangan dalam banyak risalah beliau.

Suatu ketika Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 109/9. Ada yang menanyakan pada beliau rahimahullah:

“Bagaimana pendapatmu mengenai penghasilan seseorang dari amal ribawi baik melalui bank ribawi atau dari beberapa serikat? Lalu bagaimana cara membebaskan diri dari riba semacam ini? Apakah boleh hasil riba tersebut diberikan pada berbagai amalan kebaikan seperti pembangunan masjid dan semacamnya atau untuk melunasi utang pada sebagian kaum muslimin, memberikan pada kerabat yang membutuhkan atau mungkin harta riba semacam ini dibiarkan begitu saja, tidak diambil sedikit pun? Jazakumullah khoiron.

Beliau rahimahullah menjawab: Adapun jika harta riba tersebut belum diambil, maka harta tersebut tidak halal untuk diambil dan harta riba tadi harus dibiarkan begitu saja. Karena Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. Al Baqarah: 278).

Maksudnya adalah tinggalkan sisa riba tersebut. … Siapa saja yang telah melakukan amalan ribawi, lalu dia tidak mengambil riba tersebut, maka dia wajib meninggalkan riba tersebut kemudian bertaubat pada Allah ‘azza wa jalla. Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut karena tidak tahu bahwa itu riba dan tidak tahu bahwa riba itu haram, maka taubat akan menutupi kesalahan sebelumnya dan riba tersebut (sebelum datang larangan) telah menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah,

فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (QS. Al Baqarah: 275)

Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut dan dia mengetahui bahwa riba tersebut haram, namun dia adalah orang yang lemah dalam hutang, sedikit ilmu, maka dia boleh bersedekah dengan riba tersebut. Bisa saja dia manfaatkan untuk membangun masjid, juga jika dia orang yang tidak mampu lunasi hutangnya, boleh untuk melunasi hutangnya, jika mau, boleh juga diserahkan pada kerabatnya yang membutuhkan. Ini semua adalah baik.

Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurkan ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larangan menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan,

“….dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, dan semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah Islam…” (Fatawa Islamiyah, 2:884)

Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan, “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang dizalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.

Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukum harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a’lam.

FATAL! INI AKIBAT MEMAKAN DARI UANG HARAM

oleh Admin | Dec 28, 2023 | Inspirasi

Dalam agama Islam, ada dua jenis harta, yaitu harta halal dan harta haram. Harta halal adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam, sedangkan harta haram adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syariat Islam.

Hukum memakan dari uang haram adalah haram. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 168:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Akibat Memakan dari Uang Haram di Dunia

Memakan dari uang haram dapat menimbulkan berbagai akibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut adalah beberapa akibat memakan dari uang haram di dunia:

Pertama, terputusnya hubungan dengan Allah. Memakan dari uang haram dapat menyebabkan pelakunya terputus hubungan dengan Allah. Hal ini karena Allah SWT tidak akan menerima ibadahnya dan akan menjauhkannya dari rahmat-Nya.

Kedua, mengalami kerugian dan penderitaan. Memakan dari uang haram juga dapat menyebabkan pelakunya mengalami kerugian dan penderitaan di dunia. Hal ini karena harta haram tidak akan memberikan keberkahan dan akan membawa malapetaka bagi pemiliknya.

Akibat Memakan dari Uang Haram di Akhirat

Memakan dari uang haram adalah dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَكَلَ مِنْ رِبَا دِرْهَمٍ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَمَنْ أَكَلَ مِنْ سُحْتٍ دِرْهَمًا فُتِحَ لَهُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النَّارِ، وَلَمْ يُغْلَقْ عَنْهُ حَتَّى يَأْكُلَ مِنْهُ مِثْلَهُ

“Barang siapa memakan riba satu dirham, maka tidak akan diterima darinya shalat selama empat puluh hari. Barang siapa memakan harta haram satu dirham, maka akan dibukakan baginya satu pintu dari pintu-pintu neraka, dan tidak akan ditutup darinya hingga ia memakan harta haram seperti itu.”

Pencegahan Memakan dari Uang Haram

Hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami hukum memakan dari uang haram. Dengan memahami hukumnya, kita akan menyadari bahwa memakan dari uang haram adalah perbuatan yang dilarang dan akan menimbulkan akibat buruk.

Sebagai seorang Muslim, kita harus berusaha untuk mencari rezeki yang halal. Rezeki yang halal adalah rezeki yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam.

Ingatlah, bahwa setan selalu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, termasuk memakan dari uang haram.Oleh karena itu, kita harus menjaga diri dari godaan setan dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yuk, ikuti informasi seputar islam lainnya bersama kami di Rumah Zakat

Perasaan kamu tentang artikel ini ?

Hukum Memakan Makanan yang Haram Tetapi Tidak Mengetahuinya

Seorang muslim sudah seharusnya menjaga makanan yang dia makan agar hanya barang yang halal saja yang masuk ke dalam perutnya. Dia harus selalu menghindari makanan yang diharamkan Allah SWT.

Namun dalam kehidupan ini tentu ada hal yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya?

Disebutkan dalam buku Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam apabila seseorang terpaksa atau dalam keadaan tak sengaja dan tak sadar memakan barang haram, maka ia wajib memuntahkan jika bisa.

Hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya tidak akan ditimpakan dosa bagi orang tersebut atas kemurahhatian Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku 50 Masalah Agama Bagi Muslim Bali karya Bagenda Ali.

"Tentunya apabila seseorang muslim memakan daging babi karena ketidaktahuan bahwa yang dimakan adalah daging babi, hal itu termasuk sesuatu yang dimaafkan (tidak berdosa)," tulis buku tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa." (HR Ibnu Majah)

Jadi, apabila seorang muslim tersebut benar-benar tidak mengetahui tentang keharaman makanan yang ia konsumsi maka hal itu tidak tergolong dosa di sisi Allah SWT.

Hal yang harus dilakukan muslim tersebut menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis dan mencuci tangannya. Jika sudah di masa lampau maka dia tidak melakukan apa-apa.

Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi menambahkan bahwa tidak ada kewajiban apa-apa bagi orang yang tidak sengaja atau tidak mengetahui makanannya haram. Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati dan waspada di masa depan. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Jilid 4, No 7290 pertanyaan ke-5)

Hukum Memakan Ikan Hiu dan Anjing Laut

Bagaimanakah hukum memakan ikan hiu dan anjing laut?

Fauzi, Probolinggo, Jawa Timur (disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulhijjah 1430 H / 11 Desember 2009)

Ikan hiu (Inggris: shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ). Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:

اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى شَرُّهُ.

Artinya: “Shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya.”

Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).

Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah SWT:

Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” [QS. al-Maidah (5): 96]

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:

قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.

Artinya: “Firman Allah ta’alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ  (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya …” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Imam al-Qurthubi, 6/318)

Dalil hadits, antara lain adalah sabda Nabi saw:

وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

Artinya: “Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, lalu kami membawa air untuk kami minum (agar tidak haus), Jika kami menggunakan air tersebut untuk wudhu, maka kami mengalami kehausan. Dan jika kami menggunakan air laut (untuk berwudhu), maka kami merasakan sesuatu (yang membuat ragu)! Lalu Nabi saw bersabda: “Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” [HR. Malik, Ashhabus-Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, no. 491]

Dalam kitab Aunul-Ma’bud dijelaskan, hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya:

أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ

Artinya: “Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di laut, adalah halal.” (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib, Aunul-Ma’bud, Juz 1/107)

Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.

Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring:

وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو – يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ – أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Artinya: “Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Sa’id Al-Aili, telah menceriterakan kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]

Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan bahwa ikan hiu adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah. Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad; Manarus-Sabiil, 2/368).

Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil hadits dari Abu Tsala’bah al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak dapat diterima, karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara umum.

Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits dari Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.

Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.

Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas.

Mengenai anjing laut, perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan tentang apakah mamalia ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang laut (hayawanul-bahr). Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing laut sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing laut digolongkan ke dalam kategori lebih dominan sebagai binatang darat. Sekalipun demikian, jumhur ‘ulama bersepakat tentang bolehnya memakan daging anjing laut. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai keharamannya, dan oleh karena itu berlaku hukum asalnya yaitu boleh.

Pengikut Hambali termasuk yang memasukkan anjing laut ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka berpendapat, karena anjing laut merupakan hewan yang berbeda dengan hewan laut pada umumnya, sebab anjing laut memiliki darah yang mengalir dan sering hidup di darat, maka mereka mensyaratkan agar ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni, Jilid 11, hal: 83). Oleh karena itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan semacamnya dari spesies hewan laut yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi bagi yang berpendapat bahwa anjing laut termasuk binatang darat (meskipun mempunyai kemampuan bertahan sangat lama di dalam air dan berenang dengan sangat baik), maka syarat harus disembelih adalah mutlak sebagaimana binatang darat sembelihan yang lain.

Jumhur ‘ulama cenderung tidak mensyaratkan anjing laut harus disembelih terlebih dahulu, sebab hal ini termasuk perkara yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal: 5). Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami menyimpulkan bahwa anjing laut halal dimakan, tetapi dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2010

Ustadz, kemanakah saya harus menyalurkan uang hasil riba yang saya dapatkan dari bunga bank? Saya bingung, jika bunga itu saya ambil itu haram dan hendaknya diapakan, namun jika tidak saya ambil khawatir malah menguntungkan bank. Mohon sarannya. Terimakasih.

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

Sebelumnya kami mengucapkan, semoga Allah memberkahi keluarga serta harta Anda. Kami merasa ikut senang sekaligus bangga atas semangat Anda dalam usaha mengetahui hukum riba dan cara mengelola harta agar barokah dan halal. Di saat banyak manusia hari ini yang tidak memperdulikan dari manakah harta mereka dapatkan, apakah dari jalan yang halal atau haram? Persis dengan sabda Nabi saw:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram”. [HR Bukhari].

Semoga Allah Ta’ala semakin menambahkan keimanan dan hidayah-Nya kepada Anda serta membukakan pintu-pintu rizqi yang halal nan berkah.

Riba adalah kejahatan yang berakibat dosa besar Dan mendapat ancaman keras dari Allah swt, diantaranya firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah :278-279).

الرّبَا ثَلاَثَةٌ وَ سَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ وَ إِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ المُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu, yang paling ringan, seperti orang yang berzina dengan ibunya. Dan riba yang paling riba adalah kehormatan seorang muslim.” (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan Adz-Dzahabi).

Sikap Anda yang berusaha berlepas diri dari riba serta ingin lepas dari jerat-jeratnya merupakan Sikap seorang Muslim yang taat beragama. Dan kita memang berkewajiban untuk melepaskan harta riba, dan tidak dibenarkan untuk menggunakannya, baik dimakan atau digunakan untuk kepentingan lainnya.

Para ulama bersepakat bahwa harta yang didapatkan dengan Cara yang haram maka harta itu hukumnya haram digunakan dan haram untuk dimakan. Berdasarkan sabda Nabi saw:

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”. [HR Ahmad dan Ad Darimi].

Namun mereka berbeda pendapat tentang dikemanakan harta riba yang terlanjur kita peroleh?

Secara umum pendapat ulama’ terbagi menjadi dua kelompok besar:

Pertama: Mereka berpendapat; harta riba yang terlanjur kita dapatkan harus diinfaqkan dalam kepentingan masyarakat umum dan yang tidak terhormat, semacam pembangunan jalan raya, jembatan, jamban umum atau yang serupa. Tidak dibenarkan untuk membangun masjid, atau diberikan kepada faqir-miskin.

Kedua: mereka berpendapat harta riba dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan sosial yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum, misalnya untuk pembangunan madrasah, rumah sakit, panti dll, atau yang hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya dibagikan kepada fakir-miskin.

Dari kedua pendapat ulama di atas, pendapat kedua inilah yang lebih kuat, karena beberapa alasan berikut:

Harta ini haram bagi pelakunya dan tidak haram bagi orang lain yang mendapatkannya dengan jalan-jalan yang dibolehkan syariat (hadiah, jual-beli, shadaqah, pemberian dll). Sebab hukum asal dzat bendanya adalah halal. Dan juga berdasarkan kaidah sebagian ulama’ ahli fiqih:

تَغَيُّرُ أَسْبَابِ المِلْكِ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ تَغَيُّرِ الأَعْيَانِ

“Perubahan metode memperoleh suatu benda dihukumi sebagai perubahan benda tersebut.”

Jadi jika harta riba itu diberikan kepada fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkan, berarti harta itu berpindah kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan, bukan dengan cara riba yang haram. Sebab dahulu Nabi saw tetap berniaga (jual-beli dan akad lainnya) dengan orang-orang Yahudi, padahal beliau mengetahui bahwa kaum Yahudi mendapatkan sebagian hartanya dengan jual-beli babi, khamer, serta melakukan praktek riba.

Jadi kesimpulannya harta hasil haram (riba) tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi, akan tetapi hendaknya disalurkan untuk kepentingan sosialisasi dan maslahat umum.

Adapun bunga bank, silakan diambil namun penggunaanya seperti penjelasan di atas, jangan ditinggal dan tidak diambil, karena jika tidak diambil akan menguntungkan bank dan semakin menguatkan eksiatensi bank ribawi, sedangkan kita dilarang ikut tolong-menolong dalam dosa. Wallahu a’lam bishshawab.

Hukum Memakan Ikan Hiu dan Anjing Laut

Bagaimanakah hukum memakan ikan hiu dan anjing laut?

Fauzi, Probolinggo, Jawa Timur (disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulhijjah 1430 H / 11 Desember 2009)

Ikan hiu (Inggris: shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ). Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:

اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى شَرُّهُ.

Artinya: “Shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya.”

Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).

Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah SWT:

Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” [QS. al-Maidah (5): 96]

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:

قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.

Artinya: “Firman Allah ta’alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ  (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya …” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Imam al-Qurthubi, 6/318)

Dalil hadits, antara lain adalah sabda Nabi saw:

وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

Artinya: “Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, lalu kami membawa air untuk kami minum (agar tidak haus), Jika kami menggunakan air tersebut untuk wudhu, maka kami mengalami kehausan. Dan jika kami menggunakan air laut (untuk berwudhu), maka kami merasakan sesuatu (yang membuat ragu)! Lalu Nabi saw bersabda: “Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” [HR. Malik, Ashhabus-Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, no. 491]

Dalam kitab Aunul-Ma’bud dijelaskan, hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya:

أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ

Artinya: “Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di laut, adalah halal.” (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib, Aunul-Ma’bud, Juz 1/107)

Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.

Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring:

وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو – يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ – أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Artinya: “Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Sa’id Al-Aili, telah menceriterakan kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]

Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan bahwa ikan hiu adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah. Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad; Manarus-Sabiil, 2/368).

Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil hadits dari Abu Tsala’bah al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak dapat diterima, karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara umum.

Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits dari Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.

Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.

Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas.

Mengenai anjing laut, perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan tentang apakah mamalia ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang laut (hayawanul-bahr). Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing laut sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing laut digolongkan ke dalam kategori lebih dominan sebagai binatang darat. Sekalipun demikian, jumhur ‘ulama bersepakat tentang bolehnya memakan daging anjing laut. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai keharamannya, dan oleh karena itu berlaku hukum asalnya yaitu boleh.

Pengikut Hambali termasuk yang memasukkan anjing laut ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka berpendapat, karena anjing laut merupakan hewan yang berbeda dengan hewan laut pada umumnya, sebab anjing laut memiliki darah yang mengalir dan sering hidup di darat, maka mereka mensyaratkan agar ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni, Jilid 11, hal: 83). Oleh karena itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan semacamnya dari spesies hewan laut yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi bagi yang berpendapat bahwa anjing laut termasuk binatang darat (meskipun mempunyai kemampuan bertahan sangat lama di dalam air dan berenang dengan sangat baik), maka syarat harus disembelih adalah mutlak sebagaimana binatang darat sembelihan yang lain.

Jumhur ‘ulama cenderung tidak mensyaratkan anjing laut harus disembelih terlebih dahulu, sebab hal ini termasuk perkara yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal: 5). Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami menyimpulkan bahwa anjing laut halal dimakan, tetapi dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2010

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.

Kumpulan tanya jawab agama Islam (2) yang diajukan oleh pembaca alkhoirot.net.

Assalamualaikum Ustadz.,

ana mau bertanya Ustadz,tentang hukum halal haram.

Ana bergaul/ataupun menyewa tempat tinggal beramai-ramai alasan biar harga sewa murah.

tentu setiap kebiasaan pribadi berbeda-beda. Contoh teman Ana selalu suka membeli TOGEL/judi nombor slalunya tepat.

1. Ana tanyakan, Apakah hukum menerima makanan yg dibeli dng uang judi tersebut?

2. seandainya di tolak selalu mengatakan bahwa kita orang suci tak mau makan makanan hasil togel.

Salah satu cara untuk menjadi pribadi muslim yang lebih baik adalah memilih pergaulan yang kondusif yang dapat membawa kita pada standar etika dan moral yang lebih tinggi. Kecuali apabila kita memiliki pribadi dan komitmen keagamaan yang sangat kuat yang berniat untuk mempengaruhi lingkungan dan tidak kuatir dipengaruhi. Anda tampaknya termasuk golongan yang pertama yang sebaiknya mencari lingkungan pergaulan yang kondusif.

1. Hukum memakan makanan yang jelas berasal dari uang judi adalah haram. Dalam QS Al-Mukminun 23:51 Allah berfirman: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً

Artinya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam menjelaskan ayat di atas, dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: إن الله طيب لا يقبل إلا طيباً، وإن الله تعالى أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين

Artinya: Allah itu baik dan tidak meneirma kecuali kebaikan. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sama dengan apa yang diperintahkan pada para Rasul.

Dalam QS Al Baqarah 2:172 Allah berfirman: يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang memakan makanan haram maka doa dan ibadahnya tidak akan diterima.

Al Khirsi dalam Hasyiyah Al-Udwa menyatakan: ومن كان كل ماله من الحرام، فيحرم أخذ شيء منه، وكذا إذا عُلم أن طعامه اشتراه بعين الحرام

Artinya: Barangsiapa yang seluruh hartanya berasal dari harta haram maka haram pula mengambil sesuatu darinya. Begitu juga apabila diketahui bahwa makanan yang dibeli berasal dari uang haram.

Akan tetapi apabila uang atau harta yang dipakai untuk membeli makanan itu berasal dari uang campuran antara halal dan haram, maka hukumnya makruh memakan makanannya. Lebih detail lihat:

Pelaku dosa harus bertaubat dengan taubat nasuha. Baca detail:

2. Komitmen pada agama harus mengalahkan komitmen kepada teman. Bahkan pada orang tua sekalipun apabila mereka menyuruh berbuat yang buruk, maka perintah orang tua harus dilanggar.

____________________________________________________________

Ass. Ustadz saya mau tanya ,

apakah sah atau tidak apabila bernazar atau bersumpah di dalam hati tanpa diteguhkan atau diniatkan oleh hati sendiri dengan sebenar-benarnya , terimakasih

Nazar baru terjadi apabila diucapkan secara lisan. Apabila masih dalam hati maka nadzarnya tidak terjadi. Artinya, Anda tidak perlu memenuhi atau melaksanakan nadzar yang belum diucapkan dalam bentuk kata-kata. Lebih detail:

______________________________________________________________

Assalamualaikum wr.wb

Pak ustadz,,apakah dengan meminta maaf secara tulus dan ikhlas kepada orang yang bersangkutan, dosa kita kepada orang tersebut akan diampuni oleh Allah SWT,walaupun kita tidak mengungkapkan kesalahan kita satu persatu pada orang tersebut.

Wassalamualaikum wr.wb.

Haqqul adami (hak sesama manusia) ada dua kategori. Pertama, Hak yang terkait dengan harta benda yang dapat dilunasi atau dibayar seperti hutang, atau mencuri. Dalam kasus ini, maka hak-hak tersebut harus ditunaikan atau dipenuhi pada yang berhak.

Kedua, hak yang terkait dengan sesuatu yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti pernah ghibah (Jawa, ngerasani), pernah memfitnah, membohongi, pernah berkata buruk tentang dia, dll. Dalam kasus ini maka meminta maaf secara umum dengan tulus sudah cukup dan tidak perlu mengatakan kesalahan yang dilakukan secara detail. Ini adalah pendapat segolongan ulama yang mengatakan : وإن كان مما لا يستوفى كالغيبة والنميمة والكذب ونحو ذلك، فيكتفي بالدعاء له والاستغفار وذكره بخير

Artinya: Dosa/kesalahan yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti ghibah, memfitnah, berbohong terhadap seseorang, maka cukup dengan mendoakan, meminta maaf dan menyebut kebaikannya.

Namun pendapat jumhur ulama madzhab tetap mewajibkan menyebut kesalahan yang dilakukan selain meminta maaf sebagai syarat meminta maaf atas kesalahan pada manusia yang lain (hak adami) baik dapat dilunasi atau nonmateri. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi). Dasar hukum yang diambil adalah hadtis sahih riwayat Bukhari

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

Artinya: Barangsiapa mempunyai kesalahan pada saudaranya (sesama manusia) yang menyinggung harga diri atau harta maka hendaknya meminta maaaf (meminta dibebaskan). Apabila dia memiliki amal salih, maka amalnya akan diambil menurut kadar kesalahannya. Apabila dia tidak punya kebaikan, maka diambillah keburukan saudaranya itu menjadi tanggungannya.

Menurut hemat kami, meminta maaf secara umum adalah yang terbaik karena kalau disebutkan secara detail kesalahan yang dilakukan berpotensi akan semakin memperburuk suasana. Namun apabila dengan menyebutkan kesalahan itu secara detail tidak pihak yang dimintai maaf, maka itu akan lebih ideal.

_______________________________________________________________

Saya ZA saya mau tanya,seorang suami yg selalu merantau meninggalkan istri dan anak untuk mencari nafkah di luar negeri 1 thn sekali balik. Karena di jaman sekarang yg serba canggih ini org dapat berhubungan dg org lain melalui internet, jadi akhirnya sang suami banyak mempunyai kawan2 trutama perempuan, oleh karena sang istri mengetahui semua kejadian sang suami alami, akhirnya istri marah dan selalu mencaci maki padahal suami sudah minta maaf dan tidak lagi berbuat seperti dulu. tapi istri tetap saja tdk mau menerima kenyataan.

Yang saya tanyakan apakah seorang istri bisa masuk sorga tanpa ridonya sang suami.

Suami adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati oleh istri selagi kepemimpinannya tidak bertentangan dengan syariah. Namun seuami juga perlu menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang memang layak dihormati.

Sikap istri Anda yang tidak mau memaafkan Anda itu dalam satu sisi justru positif karena itu artinya dia sangat mencintai Anda. Dan karena itu Anda sebaiknya menghadap seorang yang dapat dimintai nasehat dan meminta saran kepadanya agar istri Anda dapat memaafkan dan rumah tangga Anda dapat kembali normal.

Soal istri yang tidak bisa masuk surga, lihat artikel:

___________________________________________________________________

Assalamu'alaikum wr wb

Pada waktu SMA dan aktif di Sie Kerohanian Islam saya dikenalkan dengan

& Rotib al haddad dibaca setiap jum'at ba'da maghrib...sehingga sy merasa menyatu dgn rotib al haddad tsb. hingga sy di tunjuk teman2 untuk memimpin pembacaan rotib.

terlepas dari itu semua background ke islaman saya adalah Muhammadiyah ...

__________________________________________________________

salam. saya mau tanya ! sya menderita penyakit was was akhir2 ini entah kenapa, rasa-rasanya merasa bersalah terus dengan Allah dan Raasulnya...padalah gara2nya cuman kebaca kalimat2 yg menghina Allah dan nabi,,pdhl hati mnyangkal mngatakan itu,namun trus aja menghantui saya dg kata2 yg kurang sopan,,

sya sdh brusaha menambah aktifitas keagamaan, namun masih ada terlintas bisikan itu hingga akhirnya tiap hari saya mnyesal, apakah saya termaasuk orang yg beerdosa bsar kpd Allah ,pdhl sya sangt ingin mhilangkannya wassalm

mohon di jawab ustadz

Kalau memang kata-kata penghinaan yang keluar itu tidak disengaja dan di luar kendali Anda, maka tidak apa-apa. Nabi bersabda dalam sebuah hadits: رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل

Artinya: Ada 3 keadaan yang apabila melakukan kesalahan tidak dicatat: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai akil baligh, orang gila sampai sembuh.

Namun, begitu ingat Anda hendaknya segera mengucap istighfar kepada Allah.

Akan tetapi karena yang terjadi pada Anda itu semacam penyakit, maka idealnya Anda berkonsultasi ke psikiater atau psikolog untuk mendapat terapi. Di sampng rajin ibadah shalat yang 5 waktu plus

untuk meminta kesembuhan.

_________________________________________

assalamualaikum wr.wb

ustadz aaya pemuda berumur 19 tahun yang sering melakukan maksiat yaitu berupa menjalin hubungan dengan lawan jenis yang disebut pacaran. tp saya suatu ketika pernah mengingkari keharaman dari pacaran tersebut. dan saya tau apabila mengingkari hukum dapat menyebabkan murtad.

peryltanyaan saya. -> Topik ini sudah

______________________________________________________

Diantara perkara yang dapat melanggengkan hafalan yaitu meninggalkan kemaksiyatan, Yang saya tanyakan, bagaimana halnya dengan orang non muslim, apakah mereka juga lupa dengan ilmunya? Atau bagaimana? Mohon maaf bila ada kesalahan

Apa yang Anda katakan bahwa berbuat maksiat dapat menghilangkan atau mengurangi hafalan itu betul. Seperti kata sebuah syair yang konon dibuat oleh Imam Syafi'i [1] dalam syairnya

شكوت إلى وكيع سوء حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي أخبرني بأن العلم نور ونور الله لا يُهدى لعاصي

Artinya: Aku melapor pada Waki' tentang buruknya hafalanku / Dia memberi petunjuk agar menjauhi maksiat.

Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya / Dan cahaya Allah tidak diberikan pada pelaku maksiat.

Hafalan itu berbeda dengan pemahaman. Hafalan membutuhkan konsentrasi dan fokus yang sangat tinggi sedang perbuatan maksiat akan dapat mengurangi fokus seseorang karena adanya perasaan dosa dan problema yang lain.

Namun demikian, kita semua tahu bahwa manusia memiliki daya ingat dan daya hafal yang berbeda sejak dia lahir baik dia kafir atau muslim. Orang kafir yang memang ditakdirkan memiliki daya hafal kuat tentu sedikit banyak akan terpengaruh dengan perilaku dosa yang dilakukan, tetapi kekuatan daya hafalnya yang tinggi akan membuatnya tetap mampu untuk melakukan hafalan dengan baik. Begitu juga, seorang muslim yang memiliki daya hafal lemah tetap akan sulit menghafal walaupun dia berusaha tidak melakukan maksiat karena memang IQ yang dimilikinya rendah.

Contoh, si A yang nonmuslim memiliki IQ 130, kalau dia melakukan dosa mungkin akan mengurangi daya hafalnya menjadi, katakalah, 129. Itu masih terhitung tinggi. Sementara si B yang muslim punya IQ di bawah 100. Bagaimanapun taatnya pada ajaran Islam, tetap saja dia tidak akan dapat mengejar daya hafal dan daya ingat yang dimiliki oleh si A yang nonmuslim.

__________________________________________________

Agar Ibadah dan Doa Diterima Allah SWT

1. bagaiamana cara agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT?

2. dan bagaimana agar doa kita dikabulkan oleh Allah SWT? ..

Didik (pertanyaan via Facebook.com/alkhoirot)

1. Khusyu' dalam melaksanakan ibadah. Dan ikhlas dalam mengamalkannya.

2. Ada dua unsur penting agar do'a dikabulkan Allah.

Pertama, berdo'a dengan sungguh-sungguh dan resapi makna yang diucapkan.

Kedua, wujudkan apa yang terucap dalam do'a dalam bentuk usaha yang serius dan kerja keras.

[1] Sebagian pendapat menyatakan bahwa syair tersebut dibuat oleh Ali bin Khashram. Bukan Imam Syafi'i. Karena Waki' bukan guru dari Imam Syafi'i.

_____________________________________________________

Pembahasan tentang hukum riba di bank tidak dijumpai dalam buku fikih klasik. Karena ketika buku itu ditulis, bank-bank konvensional seperti sekarang belum ada. Untuk memahami berbagai masalah seputar bank, kita perlu merujuk kepada penjelasan ulama kontemporer, yang sempat menjumpai praktik perbankkan. Nah, hukum sedekah uang riba atau bunga bank ini bagaimana? akan kita ulas dalam artikel ini.